Satu Gen, Banyak Mutasi: Kunci Evolusi Warna Kamuflase

Bagi tikus rusa yang hidup di kawasan gurun, warna bulu bisa menjadi faktor penentu hidup dan mati. Saat tikus berbulu gelap mendiami suatu wilayah di gurun, warnanya seketika menjadi

Bagi tikus rusa yang hidup di kawasan gurun, warna bulu bisa menjadi faktor penentu hidup dan mati. Saat tikus berbulu gelap mendiami suatu wilayah di gurun, warnanya seketika menjadi mencolok dengan tanah berpasir yang berwarna terang, membuatnya jadi sasaran empuk bagi pemangsa. Namun, hanya berselang 8.000 tahun kemudian, tikus berevolusi, mengembangkan sistem kamuflase; warna bulu menjadi lebih cerah, pola garis pada ekornya mengalami
perubahan, dan perubahan pigmen tubuh memungkinkan tikus menyatu dengan habitatnya.
Para peneliti Harvard menggunakan perubahan tersebut sebagai contoh untuk menjawab salah satu pertanyaan mendasar tentang evolusi. Apakah evolusi merupakan proses yang ditandai dengan lompatan besar – mutasi tunggal yang menyebabkan perubahan dramatis suatu organisme – ataukah hasil dari sekian banyak perubahan kecil yang berakumulasi dari waktu ke waktu?
Pada makalah yang dipublikasikan dalam jurnal Science, 15 Maret, tim peneliti mampu menunjukkan bahwa perubahan warna bulu tikus bukan merupakan hasil dari satu mutasi tunggal, melainkan dari sembilan mutasi dalam satu gen tunggal.
“Temuan ini menunjukkan bagaimana efek kumulatif seleksi alam, yang bertindak pada sekian banyak perubahan kecil genetik, mampu menghasilkan perubahan yang cepat dan dramatis,” jelas Catherine Linnen, asisten profesor di University of Kentucky, penulis pertama dalam makalah, “Dari perspektif genetik, ini membantu kita memahami kebugaran yang luar biasa di antara banyak organisme dan lingkungannya. Dengan bertindak pada sekian banyak perubahan kecil, bukan pada perubahan besar dalam sekali, seleksi alam justru mampu menghasilkan adaptasi yang sangat terasah dengan baik.”
Anehnya, pengasahan ini terjadi dalam satu gen tunggal, ungkap Hopi Hoekstra, profesor biologiorganisme dan evolusi dan biologi molekuler dan selular di Harvard.
Peran gen yang disebut agouti ini pertama kali ditemukan oleh Linnen, Hoekstra, serta rekan-rekan lainnya di tahun 2009. Gen ini bertanggung jawab atas perubahan pigmentasi kulit berbagai hewan. Semua kucing peliharaan yang berwarna hitam, misalnya, memiliki penghapusan DNA dalam gen ini.
Bagaimanapun juga, yang mengejutkan bagi para peneliti bukanlah soal keterlibatan gen tersebut, melainkan soal kesembilan mutasi yang terkait dengan perubahan unik pada warna kulit hewan: Kesembilan mutasi ini menghasilkan lebih banyak warna penyamaran dan, selain itu, mutasi-mutasi ini terjadi dalam waktu yang relatif singkat, 8.000 tahun.
“Pada dasarnya, tampak kesembilan mutasi ini – yang masing-masing menjadikan tikus sedikit berwarna lebih cerah dan terkamuflase – adalah hasil akumulasi dari waktu ke waktu,” kata Hoekstra.
Dengan berfokus pada kesembilan mutasi, para ilmuwan kemudian meneliti DNA dari sebuah populasi alami tikus untuk menentukan apakah mutasi-mutasi ini memang memberi keuntungan.
“Untuk masing-masing mutasi yang terkait dengan perubahan warna, kami juga menemukan sinyal yang konsisten dengan seleksi positif,” ungkap Hoekstra, “Ini artinya, setiap perubahan tertentu pada pigmentasi  memang memberi keuntungan. Hal ini konsisten dengan apa yang sudah kami tuturkan tentang bagaimana mutasi-mutasi ini menyeleraskan ciri tersebut.”
Meski temuan ini menawarkan pemahaman yang berharga tentang bagaimana cara seleksi alam beroperasi, namun para peneliti perlu menyoroti pentingnya mendalami pertanyaan studi sebagai tujuan akhir mereka. “Pertanyaannya selalu pada apakah evolusi didominasi oleh lompatan besar ataukah langkah-langkah kecil,” jelas Hoekstra, “Saat pertama kali kami menyertakan gen agouti, kami bisa saja cukup sampai di situ dan menyimpulkan bahwa evolusi mengambil langkah-langkah besar dengan hanya satu gen utama yang terlibat, tapi itu tentunya salah. Saat mengamati gen ini dengan lebih seksama, kami justru menemukan bahwa di dalam lokus tunggal, pada faktanya, terdapat sekian banyak langkah kecil.”
Ke depannya, tim peneliti berharap bisa memahami aturan terjadinya mutasi. Pemahaman ini memungkinkan terwujudnya rekonstruksi perubahan pada tikus dari waktu ke waktu.
“Bagi para ahli biologi evolusi, hal ini menarik karena kami ingin mempelajari tentang masa lalu, namun kami hanya memiliki data dari masa sekarang untuk dipelajari,” ungkap Hoekstra, “Kemampuan untuk kembali ke masa lalu dan merekonstruksi jalur evolusi merupakan hal yang sangat menarik, dan saya rasa set data ini secara unik sesuai untuk jenis perjalanan waktu tersebut.”
Dengan meluangkan waktu untuk memahami, bukan saja tentang gen-gen yang terlibat, namun juga mutasi-mutasi tertentu yang dapat mendorong seleksi alam, maka dapat memberi gambaran yang lebih lengkap bagi para peneliti, bukan hanya pada mekanisme molekul di mana mutasi mengubah ciri, tapi juga sejarah evolusi suatu organisme.
“Dengan melakukan ini, kami telah menemukan segala macam hal yang baru. Selagi kami sering berpikir tentang perubahan yang terjadi pada keseluruhan genom, hasil studi kami justru menunjukkan bahwa di dalam suatu unit yang sangat mendasar, yaitu gen, kami dapat melihat bukti evolusi penyelarasan.”
Kategori:

Posting Komentar

Berikan Komentar yang Sopan dan Relevan

[facebook][blogger][disqus]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget