Semakin beragam spesies amfibi
yang hidup dalam sebuah kolam, semakin kuat perlindungan komunitas
katak, kodok dan salamander dalam melawan infeksi parasit yang dapat
menyebabkan kecacatan, termasuk pertumbuhan kaki ekstra, demikian hasil
temuan dari studi terbaru University of Colorado Boulder.
Temuan yang dipublikasikan dalam jurnal Nature
edisi 14 Februari ini, mendukung gagasan bahwa keanekaragaman hayati
yang lebih besar dalam ekosistem berskala besar, seperti hutan atau
padang rumput, juga dapat memberi pertahanan yang lebih besar terhadap
penyakit, termasuk yang juga menyerang manusia. Sebagai contoh, sejumlah
besar spesies mamalia di suatu wilayah dapat mengurangi kasus penyakit
Lyme, sementara sejumlah besar spesies burung dapat memperlambat
penyebaran virus West Nile.
“Bagaimana keanekaragaman hayati mempengaruhi risiko penyakit menular,
termasuk pada manusia dan satwa liar, telah menjadi pertanyaan yang
kian penting,” kata Pieter Johnson, asisten profesor di Departemen
Ekologi dan Evolusi
Biologi, penulis utama dalam studi tersebut, “Namun pada kenyataannya,
untuk menguji secara solid hubungan-hubungan ini dengan eksperimen yang
realistis terbukti sangat menantang pada kebanyakan sistem.”
Para
peneliti telah berupaya sebisa mungkin untuk merancang studi
komprehensif yang bisa menerangi hubungan antara penularan penyakit dan
jumlah spesies yang hidup dalam ekosistem yang kompleks. Sebagian dari
masalahnya adalah sejumlah besar organisme yang perlu dijadikan sampel
serta wilayah yang luas di mana organisme-organisme itu dapat
berkeliaran.
Studi terbaru dari University of Colorado Boulder mengatasi masalah
itu dengan meneliti sampel yang lebih mudah berupa ekosistem yang lebih
kecil. Johnson bersama timnya mengunjungi ratusan kolam di California,
mencatat jenis-jenis amfibi yang hidup di sana serta jumlah siput yang
terinfeksi patogen Ribeiroia ondatrae. Siput merupakan inang perantara yang digunakan oleh parasit selama bagian dari siklus hidupnya.
“Salah
satu tantangan besar dalam mempelajari hubungan keragaman-penyakit
adalah mengumpulkan data dari sistem-sistem replikasi untuk membedakan
pengaruh keragaman dari ‘ketidakjelasan’ latar belakangnya,” kata
Johnson. “Dengan mengumpulkan data dari ratusan kolam beserta ribuan
penghuni amfibinya, tim kami mampu memberi tes ketat pada hipotesis ini,
yang mana terdapat relevansinya dengan berbagai sistem penyakit.”
Tim
Johnson menopang berbagai ladang observasi dengan tes laboratorium yang
dirancang untuk mengukur seberapa rentan masing-masing spesies amfibi
terhadap infeksi, juga dengan menciptakan replika kolam menggunakan bak
plastik besar berisi berudu yang terkena sejumlah parasit. Semua
eksperimen menceritakan kisah yang sama, kata Johnson. Keanekaragaman
hayati yang lebih besar berhasil mengurangi jumlah infeksi amfibi dan
jumlah katak yang cacat.
Para peneliti menghabiskan tiga tahun
untuk mengumpulkan 345 sampel lahan basah dan mencatat berbagai
kecacatan – meliputi kaki belakang yang hilang, cacat atau bertumbuh
ekstra – yang disebabkan infeksi parasit pada 24.215 amfibi. Mereka juga
membuat katalog yang terdiri dari 17.516 ekor siput. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kolam yang dihuni setengah lusin spesies amfibi
mengalami penurunan transmisi parasit sebesar 78 persen dibandingkan
dengan kolam hanya dihuni satu spesies amfibi. Tim peneliti juga membuat
percobaan di laboratorium dan di luar rumah dengan menggunakan 40 kolam
buatan, masing-masing diisi dengan 60 amfibi dan 5 ribu parasit.
Alasan
menurunnya infeksi parasit dengan meningkatnya keanekaragaman hayati
mungkin terkait dengan fakta bahwa kolam yang ditambahi dengan spesies
amfibi berada dalam suatu pola yang bisa diprediksi; spesies yang
pertama muncul menjadi yang paling rentan terhadap infeksi, dan spesies
yang muncul belakangan menjadi yang paling tahan terhadap infeksi.
Sebagai contoh, tim peneliti menemukan bahwa di kolam yang hanya berisi
satu jenis amfibi, yaitu katak paduan suara Pasifik, makhluk yang mampu
mereproduksi dengan cepat dan memenuhi habitat lahan basah dalam waktu
singkat, ternyata juga sangat rentan terhadap infeksi dan kecacatan yang
disebabkan parasit.
Di sisi lain, salamander tiger California biasanya
menjadi salah satu spesies terakhir yang ditambahkan ke dalam populasi
kolam dan juga salah satu yang paling resisten terhadap infeksi parasit.
Dengan demikian, dalam sebuah kolam yang keanekaragaman hayatinya lebih
besar, parasit berpeluang lebih tinggi untuk berhadapan dengan amfibi
yang tahan infeksi, menurunkan keseluruhan tingkat
keberhasilan penularan antara siput yang terinfeksi dan amfibi.
Pola
yang sama ini – komunitas yang kurang beragam, terdiri dari spesies
yang lebih rentan infeksi penyakit – mungkin berperan pula dalam
ekosistem yang lebih kompleks, kata Johnson. Itu karena spesies yang
menyebar cepat ke dalam ekosistem tampaknya menukarkan kemampuan
bereproduksi cepatnya dengan kemampuan mengembangkan ketahanan terhadap
penyakit.
“Penelitian ini mencapai kesimpulan yang mengejutkan
bahwa keseluruhan spesies dalam suatu komunitas mempengaruhi kerentanan
terhadap penyakit,” kata Doug Levey, direktur program di Division of
Environmental Biology, National Science Foundation, yang membantu
mendanai penelitian. “Keanekaragaman hayati itu penting.”
Studi besar sebelumnya juga memperkuat adanya hubungan antara
kecacatan pada katak dan infeksi parasit. Dimulai pada pertengahan
1990-an, muncul laporan-laporan tentang katak berkaki ekstra, kaki yang
hilang atau cacat, sempat menarik perhatian luas di berbagai media serta
memotivasi para ilmuwan untuk mencari tahu penyebabnya. Johnson
merupakan salah satu peneliti yang menemukan bukti adanya hubungan
antara infeksi Ribeiroia dan kecacatan katak, meskipun kemunculannya dalam laporan deformasi, dan penyebab yang mendasarinya, tetap kontroversial.
Meski studi
terbaru ini memiliki beberapa implikasi di balik infeksi parasit pada
amfibi, tidak berarti peningkatan keanekaragaman hayati selalu
menghasilkan penurunan penyakit, Johnson memperingatkan. Faktor-faktor
lain juga mempengaruhi tingkat penularan penyakit. Sebagai contoh,
sejumlah besar nyamuk yang menetas pada tahun tertentu akan meningkatkan
resiko penularan virus West Nile, bahkan sekalipun sudah terjadi
peningkatan keanekaragaman populasi burung. Burung bertindak sebagai
“inang” untuk virus West Nile, dan kapanpun bisa menjadi penampung
patogen tanpa ada efek sakit serta menyalurkan patogen tersebut ke
nyamuk.
“Hasil penelitian kami menunjukkan bahwa keragaman yang
lebih tinggi mengurangi tingkat keberhasilan patogen untuk
berpindah-pindah di antara inang,” jelas Johnson, “Meskipun demikian,
jika infeksi mengalami tekanan yang tinggi, misalnya dalam satu tahun
berkelimpahan vektor, masih akan ada risiko penyakit yang signifikan;
keanekaragaman hayati hanya akan berfungsi meredam keberhasilan
penularan.”
Kredit: University of Colorado at Boulder
Jurnal: Pieter T. J. Johnson, Daniel L. Preston, Jason T. Hoverman, Katherine L. D. Richgels. Biodiversity decreases disease through predictable changes in host community competence. Nature, 2013; 494 (7436): 230 DOI: 10.1038/nature11883
http://www.faktailmiah.com
Posting Komentar
Berikan Komentar yang Sopan dan Relevan