Ikan bersejarah, dengan masa lalu yang sangat menarik minat para ilmuwan, kini telah tuntas melewati masa pengurutan genom. Hasil pengurutan memberi banyak informasi tentang perubahan genetik yang menyertai serangkaian adaptasi dari lingkungan perairan ke daratan. Sebuah tim peneliti internasional yang dipimpin Chris Amemiya, PhD,
Direktur Genetika Molekuler di Benaroya Research Institute, Virginia Masondan, dan Profesor Biologi di University of Washington, melaporkan hasil studinya sebagai artikel utama di Nature, 18 April.
Direktur Genetika Molekuler di Benaroya Research Institute, Virginia Masondan, dan Profesor Biologi di University of Washington, melaporkan hasil studinya sebagai artikel utama di Nature, 18 April.
Pengurutan genom coelacanth dikerjakan oleh Genome Center di Broad Institute MIT dan Harvard, yang kemudian dianalisa oleh sebuah konsorsium para ahli sedunia.
Pengurutan genom coelacanth telah lama menjadi tujuan yang dinanti-nanti dan merupakan sebuah tonggak logistik utama, kata Dr. Amemiya. Dia bersama para ilmuwan di seluruh dunia sudah bertahun-tahun lamanya berkampanye untuk mengurutkan genom ikan tersebut. “Analisis perubahan dalam genom selama adaptasi vertebrata ke darat telah mengimplikasikan gen-gen utama yang mungkin terlibat dalam transisi evolusioner,” katanya. Yang terlibat meliputi gen-gen yang mengatur imunitas, ekskresi nitrogen serta pengembangan sirip, ekor, telinga, mata, dan otak, begitu pula dengan gen-gen yang terlibat dalam indera penciuman. Genom coelacanth akan berfungsi sebagai sebuah cetak biru untuk mencapai pemahaman yang lebih baik mengenai evolusi tetrapod.
“Ini hanyalah permulaan dari sekian banyak analisis terhadap apa yang bisa coelacanth ajarkan pada kita tentang kemunculan vertebrata darat, termasuk manusia, dan kombinasinya dengan pendekatan empiris modern dapat menyediakan wawasan mengenai mekanisme yang berkontribusi terhadap inovasi-inovasi evolusioner utama,” tutur Dr. Amemiya.
Coelacanth merupakan bahan studi yang sangat krusial mengingat statusnya sebagai salah satu dari dua kelompok ikan bersirip-cuping (lobe-finned fish) yang masih hidup, selain potensinya dalam mempresentasikan garis silsilah evolusi yang mendalam dan informatif sehubungan dengan vertebrata darat. Yang lainnya adalah lungfish, jenis ikan yang memiliki genom sangat besar, cukup besar sehingga dianggap tidak praktis untuk diurutkan. Ikan-ikan bersirip-cuping secara genealogis ditempatkan di antara ikan bersirip-duri (ray-finned fishes, seperti ikan mas dan guppy) dan tetrapoda – vertebrata berkaki empat pertama dan beberapa penduhulu dalam garis silsilahnya, termasuk amfibi, reptil, burung dan mamalia yang masih hidup maupun yang sudah punah. Nenek moyang ikan bersirip-cuping mengalami perubahan genom yang menyertai transisi kehidupan di lingkungan air menuju kehidupan di darat.
Siapapun takkan menyangkal jika coelacanth memang sejenis ikan, namun analisis filogenetik menunjukkan bahwa gennya lebih mirip dengan gen tetrapoda daripada ikan bersirip-duri. Selain itu, gencoelacanth berevolusi pada tingkat yang jauh lebih lambat dibanding dengan tetrapoda, fakta itu sesuai dengan penampilan yang menunjukkan lambatnya perubahan morfologis.
“Bagi para ahli biologi evolusi, coelacanth adalah hewan ikonik, sama populernya dengan burung finch-nya Darwin di Galapagos,” ujar Toby Bradshaw, PhD, Profesor dan Ketua Departemen Biologi University of Washington, “Makalah dari Chris dan rekan-rekannya ini memberi pandangan pertama yang komprehensif pada posisi coelacanth dalam sejarah evolusi kita, serta menghadirkan wawasan menarik mengenai gen-gen tertentu dari vertebrata yang terlibat dalam transisi kritis dari air ke darat – itu tampak menuntut kehilangan maupun perolehan fungsi gen. Saya menemukan bahwa menggagas perubahan-perubahan perolehan-fungsi dalam regulasi gen untuk pengembangan anggota badan sangatlah menarik, didukung oleh bukti eksperimental bahwa sirip cuping coelacanth benar-benar mirip dengan kaki prototipikal. Membuat kaki dari sirip adalah contoh yang luar biasa dalam pengamatan yang dilakukan Francois Jacob bahwa evolusi adalah ‘pengutak-utik’, bukan perancang,” tambah Gerald Nepom, MD, PhD, Direktur Benaroya Research Institute.
“Hasil kerja ini mempresentasikan pencapaian dari sekelompok besar peneliti berbakat, membuka lembaran baru pengetahuan tentang adaptasi yang kini sudah tersedia bagi semua ilmuwan yang ingin lebih memahami asal usul genetika kompleks kita.”
Pengurutan genom merupakan proses laboratorium dan komputasi yang menentukan kelengkapan urutan DNA pada genom suatu organisme. Mengurai susunan genetik coelacanth memberi petunjuk berharga bagi para ahli biologi dalam mempelajari evolusi vertebrata.
Ketika spesimen hidup coelacanth pertama kali ditemukan pada tahun 1938, ikan ini seketika menjadi sensasi mendunia mengingat garis silsilahnya dianggap sudah punah sejak 70 juta tahun yang lalu.Coelacanth hidup memiliki banyak kesamaan anatomis dengan fosil kerabatnya, dan tampaknya hanya mengalami sedikit perubahan morfologis sejak periode Devonian sekitar 360 juta tahun yang lalu. Ikan ini masih tetap memiliki apa yang umumnya dianggap sebagai penampilan prasejarah, dan, seperti halnya spesies-spesies serupa lainnya yang tidak menunjukkan banyak perubahan selama periode panjang evolusioner, ikan ini seringkali dijuluki sebagai “fosil hidup”. Hubungan pada kelambatan evolusi gen dengan penampilan morfologisnya tetap tidak diketahui pasti, sebagian besar hanya bersifat spekulatif. Saat ini, coelacanth berada dalam daftar spesies langka, dan jaringan-jaringan biologisnya hanya bisa diperoleh dari hewan-hewan mati yang tertangkap secara tidak sengaja oleh para nelayan.
Sebagai pelengkap untuk makalah genom dalam jurnal Nature ini, beberapa makalah pendamping tengah dalam proses pengeditan oleh Drs. Amemiya dan Axel Meyer untuk publikasi pada sebuah akses khusus edisi genom coelacanth dalam Journal of Experimental Zoology (Molecular and Developmental Evolution).
sumber : http://www.faktailmiah.com/
sumber : http://www.faktailmiah.com/
Posting Komentar
Berikan Komentar yang Sopan dan Relevan