GEJALA SOSIAL DALAM MASYARAKAT(KEMISKINAN, PERMUKIMAN KUMUH DAN GIZI BURUK)
1. Kemiskinan
Menurut Siagian (2012) bentuk kemiskinan sebagai berikut:
a. Berdasarkan jumlah penyandangnya, ada dua macam sebagai berikut:
1) Kemiskinan Massa
Kemiskinan yang dialami secara massal oleh penduduk dalam suatu wilayah atau kawasan tertentu. Hal ini berarti terdapat begitu banyak warga yang secara faktual tidak mampu memenuhi kebutuhan fisik minimumnya, sehingga terpaksa hidup serba kekurangan dan mengalami kondisi hidup tak layak bagi harkat dan martabat kemanusiaan.
2) Kemiskinan Non-massa
Kemiskinan yang dirasakan oleh beberapa warga saja.
b. Berdasarkan Penyebabnya
1) Kemiskinan alamiah
Kemiskinan yang disebabkan oleh daya dukung lingkungan yang tidak memadai untuk menopang kehidupan manusia selayaknya. Faktor utamanya berada pada kondisi geografis. Seperti daerah yang tandus dan bebatu, daerah yang tidak menyimpan potensi tambang, sumber air yang tidak melimpah dan lain-lain.
2) Kemiskinan struktural
Kemiskinan yang disebabkan akibat lemahnya sistem atau struktur sosial di dalam masyarakat. Pola kebijakan dan aturan dari pemerintah yang dianggap tidak memerhatikan kondisi masyarakatmiskin menjadikan masyarakat miskin tidak berdaya untuk melawan kemiskinannya. Fenomena sosial kemiskinan struktural ini dapat kita lihat dari terbatasnya akses masyarakat miskin terhadap lapangan pekerjaan, kesehatan dan pendidikan secara layak dan bermartabat.
3) Kemiskinan Kultural
Kemiskinan ini berasal dari merosotnya moral dan mentalitas akibat kebudayaan yang ada pada suatu masyarakat. Fenomena kemiskinan kultural itu dapat kita lihat dari sifat-sifat yang seringkali dipertahankan di kalangan masyarakat yang masih miskin yang seharusnya bisa ditanggulangi secara bersama-sma seperti sifat malas, tidak mau bekerja keras, selalu menggantungkan hidupnya kepada belas kasihan ke orang lain, pasrah kepada nasib tanpa ada kemauan untuk berusaha dan bekerja.
Emil Salim (dalam Siagian, 2012) mengemukakan lima karakteristik penduduk tergolong miskin. Adapun kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:
1) Penduduk miskin pada umumnya tidak memiliki faktor-faktor produksi (tanah dan modal) sendiri.
2) Penduduk miskin umumnya juga tidak mempunyai kemungkinan untuk memeroleh faktor produksi jika tanpa bantuan dari pihak lain.
3) Penduduk miskin umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah.
4) Penduduk miskin biasanya sulit mengakses fasilitas pendidikan, kesehatan, dan layanan pemenuhan kebutuhan lainnya, sehingga hidupnya tidak layak.
5) Diantaranya penduduk miskin, sering terdapat kelompok- kelompok beranggotakan individu berusia relatif muda dan tidak mempunyai keterampilan atau tingkat pendidikan yang memadai.
Sementara, menurut Sjahrir (dalam Siagian, 2012) kemiskinan merupakan suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar berikut:
1) Kebutuhan fisik dasar (basic physical needs) seperti bahan makanan, pakaian, perumahan layak huni dan layanan kesehatan
2) Kebutuhan budaya dasar (basic cultural needs) meliputi pendidikan, penggunaan waktu luang untuk rekreasi dan jaminan sosial.
(Sumber.Fritz H.s Damanik, Sosiologi SMA/MA Kelas X, Hlm109-110)
Faktor Penyebab Kemiskinan
Ternyata kemiskinan itu tidak terjadi begitu saja melainkan memiliki faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan. Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan dapat dikategorikan dalam beberapa hal berikut ini :
A. Merosotnya standar perkembangan pendapatan per-kapita secara global.
Yang perlu digaris bawahi di sini adalah bahwa standar pendapatan per-kapita bergerak seimbang dengan produktivitas yang ada pada suatu sistem. Jikalau produktivitas berangsur meningkat maka pendapatan per-kapita pun akan naik. Begitu pula sebaliknya, seandainya produktivitas menyusut maka pendapatan per-kapita akan turun beriringan. Berikut beberapa faktor yang mempengaruhi kemerosotan standar perkembangan pendapatan per-kapita:
1) Naiknya standar perkembangan suatu daerah.
2) Politik ekonomi yang tidak sehat.
3) Faktor-faktor luar negeri, diantaranya:
4) Rusaknya syarat-syarat perdagangan
5) Beban hutang
6) Kurangnya bantuan luar negeri, dan Perang
B. Menurunnya etos kerja dan produktivitas masyarakat.
Faktor ini sangat penting dalam pengaruhnya terhadap kemiskinan. Oleh karena itu, untuk menaikkan etos kerja dan produktivitas masyarakat harus didukung dengan SDA dan SDM yang bagus, serta jaminan kesehatan dan pendidikan yang bisa dipertanggung jawabkan dengan maksimal
C. Biaya kehidupan yang tinggi.
Melonjak tingginya biaya kehidupan di suatu daerah adalah sebagai akibat dari tidak adanya keseimbangan pendapatan atau gaji masyarakat. Tentunya kemiskinan adalah konsekuensi logis dari realita di atas. Hal ini bisa disebabkan oleh karena kurangnya tenaga kerja ahli dan banyaknya pengangguran.
(https://dinsos.bulelengkab.go.id/artikel/artikel-masalah-sosial-tentang-kemiskinan-93)
2. Permukiman Kumuh (Slum Area)
Permukiman berasal dari bahasa Inggris, yakni housing atau human settlement. Istilah perumahan memberi kesan tentang rumah atau kumpulan rumah beserta prasarana dan sarana lingkungannya. Adapun istilah "permukiman" memunculkan kesan tentang permukim atau kumpulan pemukim beserta sikap dan perilakunya di dalam lingkungan. Jadi dapat disimpulkan bahwa permukimaan menitikberatkan pada sesuatu yang bukan bersifat fisik atau benda mati, melainkan manusia (human).
Prof.Dr. Parsudi Suparlan (1938-2007), akademisi dalam masalah perkotaan mengemukakan sejumlah ciri permukiman kumuh adalah sebagai berikut:
a. Fasilitas umum yang kondisinya kurang atau tidak memadai
b. Kondisi hunian rumah dan permukiman serta penggunaan ruangnya mencerminkan penghuninya yang kurang mampu atau miskin.
c. Adanya tingkat frekuensi dan kepadatan volume yang tinggi dalam penggunaan ruang-ruang yang ada di permukiman kumuh sehingga mencerminkan adanya kesemrawutan tata ruang dan ketidakberdayaan ekonomi penghuninya.
d. Permukiman kumuh merupakan suatu komunitas yang hidup secara tersendiri dengan batas-batas kebudayaan dan sosial yang jelas yaitu terwujud sebagai berikut:
1) Komunitas tunggal yang tinggal di atas tanah milik negara dan dapat digolongkan sebagai hunian liar
2) Komunitas tunggal yang merupakan bagian dari sebuah RT (Rukun Tetangga) atau RW (Rukun Warga), dan
3) Komunitas tunggal yang terwujud sebagai sebuah RT atau RW atau bahkan terwujud sebagai sebuah kelurahan dan bukan hunian liar.
e. Penghuni permukiman kumuh secara sosial dan ekonmi tidak homogen, warganya mempunyai mata pencaharian dan tingkat kepadatan yang beranekaragam. begitujuga asal-muasalnya. Dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan kemampuan ekonomi mereka.
f. Sebagian besar penghuni permukiman kumuh adalah kerja sektor informal.
Sementara Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri RI (2009) juga mengungkapkan beberapa kriteria permukiman kumuh yang dianggap kumuh sebagai berikut:
a. Sebagian besar penduduknya berpenghasilan dan berpendidikan rendah serta memiliki sistem sosial yang rentan.
b. Sebagian besar penduduknya berusaha atau bekerja disektor informal
c. Lingkungan permukiman, rumah, fasilitas dan prasarananya dibawah standar minimal sebagai tempat bermukim
(Sumber.Fritz H.s Damanik, Sosiologi SMA/MA Kelas X, Hlm111-112)
Pengertian dan Karakteristik Permukiman Kumuh
Permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni yang ditandai dengan ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat. (UU No.1 Tahun 2011 tentang PKP).
Kondisi relasi sosial dan kekerabatan relatif tinggi sebagai perwujudan keberadaan komunitasnya (Rindarjono, 2012).
Karakteristik permukiman kumuh digambarkan dengan tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan masyarakat penghuninya yang rendah (Budiharjo, 2011).
Permukiman kumuh atau slum merupakan kondisi permukiman dengan kualitas buruk dan tidak sehat, tempat perlindungan bagi kegiatan marjinal serta sumber penyakit epidemik yang akhirnya akan menular ke wilayah perkotaan (UN Habitat, 2010) (https://perkim.id/kawasan-kumuh/pengertian-dan-karakteristik-permukiman-kumuh/)
3. Gizi Buruk
Terhadap perkembangan anak, dampak jangka pendek gizi buruk terhadap perkembangan anak menurut Nency & Arifin (2005), diantaranya menjadikan anak apatis, gangguan bicara dan gangguan perkembangan yang lain. Sedangkan dampak jangka panjang adalah penurunan skor intelligence quotient (IQ), penurunan perkembangan kognitif, penurunan i ntegrasi sensori, gangguan pemusatan perhatian, gangguan penurunan rasa percaya diri dan tentu saja merosotnya prestasi akademik di sekolah. Kurang gizi berpotensi menjadi penyebab kemiskinan melalui rendahnya kualitas sumber daya manusia dan produktivitas. Tidak heran jika gizi buruk yang tidak dikelola dengan baik, pada fase akutnya akan mengancam jiwa dan pada jangka panjang akan menjadi ancaman hilangnya sebuah generasi penerus bangsa
Pengertian yang umum kita gunakan selama ini terkait gizi buruk diantaranya dikemukakan Gibson (2005), yang mengemukakan bahwa gizi buruk merupakan salah satu klasifikasi status gizi berdasarkan pengukuran antropometri. Sedangkan pengertian status gizi adalah suatu keadaan tubuh yang diakibatkan oleh keseimbangan asupan zat gizi dengan kebutuhan. Keseimbangan tersebut dapat dilihat dari variabel-variabel pertumbuhan, yaitu berat badan, tinggi badan/ panjang badan, lingkar kepala, lingkar lengan dan panjang tungkai.
Menurut perkiraan WHO, sebanyak 54% penyebab kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi anak yang buruk. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal (World Bank, 2006). Sementara di Indonesia berdasarkan data Susenas tahun 2005 prevalensi balita gizi buruk masih sebesar 8.8%. Penanggulangan Gizi BurukMenurut Depkes RI (2008), gizi buruk adalah suatu keadaaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) < -3 standar deviasi WHO-NCHS dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus kwashiorkor. Beberapa pengertian gizi buruk menurut Depkes RI (2008) adalah sebagai berikut :
Gizi buruk: adalah keadaan kurang gizi tingkat berat pada anak berdasarkan indeks berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) <-3 SD dan atau ditemukan tanda-tanda klinis marasmus, kwashiorkor dan marasmus-kwashiorkor.
Marasmus: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan tampak sangat kurus, iga gambang, perut cekung, wajah seperti orang tua dan kulit keriput
Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk yang ditandai dengan edema seluruh tubuh terutama di punggung kaki, wajah membulat dan sembab, perut buncit, otot mengecil, pandangan mata sayu dan rambut tipis/kemerahan.
Marasmus-Kwashiorkor: adalah keadaan gizi buruk dengan tanda-tanda gabungan dari marasmus dan kwashiorkor
Beberpa tanda-tanda klinis gizi buruk diatas menurut (Gibson, 2005), sebagai berikut:
Marasmus : 1). Badan nampak sangat kurus; 2). Wajah seperti orang tua; 3). Cengeng dan atau rewel; 4). Kulit tampak keriput, jaringan lemak subkutis sedikit sampai tidak ada (pada daerah pantat tampak seperti memakai celana longgar/ ”baggy pants”); 5). Perut cekung; 6). Iga gambang; 7). Sering disertai penyakit infeksi (umumnya kronis) dan diare
Kwashiorkor : 1). Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki; 2). Wajah membulat (moon face) dan sembab; 3). Pandangan mata sayu; 4). Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa sakit dan mudah rontok; 5). Perubahan status mental, apatis, dan rewel; 6). Pembesaran hati; 7). Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau duduk; 8). Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis); 9). Sering disertai penyakit infeksi (akut), anemia dan diare.
Marasmus Kwashiorkor: Merupakan gabungan dari beberapa gejala klinis marasmus dan kwashiorkor.
Terdapat sebuah model yang dikembangkan Unicef tahun 1990, untuk mengurai faktor penyebab gizi buruk ini (Soekirman, 2000). Dengan model tersebut, penyebab masalah gizi dibagi dalam tiga tahap, yaitu penyebab langsung, penyebab tidak langsung dan penyebab mendasar.
Terdapat dua penyebab langsung gizi buruk, yaitu asupan gizi yang kurang dan penyakit infeksi.
Terdapat 3 faktor pada penyebab tidak langsung, yaitu tidak cukup pangan, pola asuh yang tidak memadai, dan sanitasi, air bersih/ pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai.
Penyebab mendasar/akar masalah gizi buruk adalah terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial termasuk bencana alam, yang mempengaruhi ketersediaan pangan, pola asuh dalam keluarga dan pelayanan kesehatan serta sanitasi yang memadai, yang pada akhirnya mempengaruhi status gizi balita.
Sebagai langkah awal penanggulangan masalah gizi buruk diatas, diperlukan sistem kewaspadaan dini dengan indikator dan alat ukur yang sensitif. Dalam kaitan ini diperlukan sebuah sistem surveilance gizi buruk. Menurut WHO, survailans gizi merupakan kegiatan pengamatan keadaan gizi, dalam rangka untuk membuat keputusan yang berdampak pada perbaikan gizi penduduk dengan menyediakan informasi yang terus menerus tentang keadaan gizi penduduk, berdasarkan pengumpulan data langsung sesuai sumber yang ada, termasuk data hasil survei dan data yang sudah ada (Mason et al., 1984)
Sementara mdenurut Keputusan Menteri Kesehatan nomor: 1116/Menkes/SK/VI II/2003 tentang Pedoman Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan dan Penyakit salah satu kegiatannya adalah pelaksanaan SKD KLB. SKD KLB merupakan kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB serta faktor-faktor yang mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi surveilans epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat (Depkes RI, 2004).
Beberapa prinsip melaksanakan SKD-KLB gizi buruk tersebut antara lain: Kajian epidemiologi secara rutin; Peringatan kewaspadaan dini; Peningkatan kewaspadaan dan kesiapsiagaan.
Sedangkan berbagai upaya yang dapat dilakukan dalam upaya penanggulangan masalah gizi buruk menurut Depkes RI (2005) dirumuskan dalam beberapa kegiatan berikut :
a. Meningkatkan cakupan deteksi dini gizi buruk melalui penimbangan bulanan balita di posyandu.
b. Meningkatkan cakupan dan kualitas tata laksana kasus gizi buruk di puskesmas / RS dan rumah tangga.
c. Menyediakan Pemberian Makanan Tambahan pemulihan (PMT-P) kepada balita kurang gizi dari keluarga miskin.
d. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan ibu dalam memberikan asuhan gizi kepada anak (ASI/MP-ASI).
e. Memberikan suplemen gizi (kapsul vitamin A) kepada semua balita
(Sumber;http://www.indonesian-publichealth.com/penyebab-dan-dampak-gizi-buruk/)
Posting Komentar
Berikan Komentar yang Sopan dan Relevan