KONFLIK
Kata "konflik" berasal dari bahasa latin "configere" yang artinya saling memukul. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), konflik didefinisikan sebagai percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Dengan demikian secara sederhana, konflik merujuk pada adanya dua hal atau lebih yang berseberangan, tidak selaras dan bertentangan. Sebagai contoh, A dan B berkonflik karena mereka berdua memiliki pandangan yang berbeda tentang cara memperoleh nilai yang baik. Si A berpandangan bahwa untuk mendapatkan nilai yang baik, menyontek adalah hal yang wajar. Sebaliknya Si B berpandangan bahwa untuk mendapatkan nilai yang baik, menyontek adalah hal yang tidak baik dan tidak wajar.
Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Konflik termasuk bentuk interaksi sosial yang bersifat disosiatif. Soerjono Soekanto menyebut konflik sebagai suatu proses sosial individu atau kelompok yang beusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan, yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan. Lewis A Coser berpendapat bahwa konflik adalah sebuah perjuangan mengenai nilai atau tuntutan atas status, kekuasaan dan sumber daya yang bersifat langka dengan maksud menetralkan, mencederai atau melenyapkan lawan.
John Lewis dan John Philip Gilin melihat konflik sebagian bagian dari proses interaksi sosial manusia yang saling berlawanan (oppositional proces). Artinya konflik adalah bagian dari sebuah proses interaksi sosial yang terjadi karena adanya perbedaan- perbedaan fidik, emosi, kebudayaan dan perilaku.
(Kun Maryani , Juju Suryawati,Sosiologi Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk SMA/MA Kelas XI, 2017:131-132)
KEKERASAN
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kekerasan didefinisikan sebagai perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain. Dalam kehidupan sehari- hari kekerasan identik dengan tindakan melukai orang lain dengan sengaja, membunuh atau memerkosa. Kekerasan seperti itu sering disebut sebagai kekerasan langsung (direct violence). Kekerasan juga menyangkut tindakan- tindakan seperti mengekang, mengurangi atau meniadakan hak seseorang, mengintimidasi, memfitnah dan meneror orang lain. Bahkan, bagi kaum humanis, tindakan membiarkan atau menjerumuskan seseorang dalam sebuah kekerasan juga merupakan bentuk kekerasan. Sebagai contoh, tindakan membiarkan seorang pencuri dihakimi massa, bagi kaum humanis adalah sebuah bentuk kekerasan. Kekerasan seperti itu digolongkan sebagai kekerasan tidak langsung (inderect violence).
Secara sosiologi, kekerasan umumnya terjadi saat individu atau kelompok yang berinteraksi mengabaikan norma dan nilai-nilai sosial dalam mencapai tujuan masing-masing. Dengan diabaikannya norma dan nilai sosial itu, timbullah tindakan-tindakan irasional yang cenderung merugikan pihak lain, tetapi ,mengutungkan dirinya sendiri. Akibatnya terjadi konflik yang akan bermuara pada kekerasan.
N. J Smelser meneliti kekerasan yang bersifat massal atau kerusuhan. Menurutnya, ada lima tahap dalam kerusuhan massal. Kelima tahap itu berlangsung secara kronologis (berurutan) dan tidak dapat terjadi satu untuk dua tahap saja. Berikut ini kelima tahap tersebut.
1. Situasi sosial yang memungkinkan timbulnya kerusuhan yang disebabkan oleh struktur sosial tertentu, seperti tidak adanya sistem tanggung jawab yang jelas dalam masyarakat, atau tidak adanya saluran atau sarana komunikasi untuk mengungkapkan kejengkelan atau ketidakpuasan.
2. Tekanan sosial, yaitu suatu kondisi saat sejumlah besar anggota masyarakat merasa bahwa banyak nilai dan norma yang sudah dilanggar. Tekanan sosial seperti ini tidak cukup untuk menimbulkan kerusuhan atau kekerasan, tetapi dapat menjadi pendorong terjadi kekerasan.
3. Berkembangnya perasaan kebencian yang meluas terhadap suatu sasaran tertentu, misalnya terhadap pemerintah, kelompok ras atau agama tertentu. Sasaran kebencian itu berkaitan dengan faktor pencetus, yaitu peristiwa tertentu yang mengawali atau memicu suatu kerusuhan, seperti sindiran dan kata-kata kasar.
4. Tahap berikutnya adalah mobilisasi untuk beraksi yaitu tindakan nyata berupa pengorganisasian diri untuk bertindak. Tahap ini merupakan tahap akhir dari akumulasi yang memungkinkan pecahnya kekerasan . Sasaran aksi ini dapat ditunjukkan pada objek yang langsung memicu kekerasan atau pada objek lain yang tidak ada hubungannya dengan pihak lawan seperti pemerintah dan polisi.
5. Kontrol Sosial yaitu tindakan pihak ketiga seperti aparat keamanan untuk mengendalikan, menghambat dan mengakhiri kekerasan atau kerusuhan.
(Kun Maryani , Juju Suryawati,Sosiologi Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk SMA/MA Kelas XI, 2017:133-134)
Kun Maryani , Juju Suryawati,Sosiologi Kelompok Peminatan Ilmu Pengetahuan Sosial Untuk SMA/MA Kelas XI, 2017:134)
Posting Komentar
Berikan Komentar yang Sopan dan Relevan